Monday, 18 October 2010

UNTA ... (a response to Samuel Mulia's writing)

Diambil dari Kolom Parodi di Harian Kompas, Minggu 17 Oktober 2010

......
Sebetulnya karena bakat bawel aja, makanya pengen menanggapi tulisan Samuel Mulia. Boleh ya ?

Dari yang saya baca minggu ini adalah tentang relationship dengan orang  lain, khususnya dalam hal ini adalah mereka  yang dekat dengan kita ataupun dengan siapa yang kita dekati, dalam koridor hubungan cinta. Ciee….
( Sip kan, bahasanya? Modal awal jadi penulis neh...)

Menurut tulisannya,  ada seorang teman yang putus dengan pacarnya dan memutuskan untuk jadi teman saja. Alasan putusnya ? karena bosan. Bosan dalam arti hubungan mereka tidak ada perkembangan, komunikasi mereka dan langkahnya pun tak ada perkembangan.. not progressing, gitu loh …!!!

Setelah putus dengan pacar, kemudian memutuskan jadi teman. Apa benar bisa jadi teman saja?
Kenyataannya, kalo udah putus, boro-boro mau nanya. Apalagi inget? Apalagi jadi teman? It just too  perfect. Saya rasa, karena orang kita ini tata krama nya tinggi.. budi bahasanya juga halus, tidak seperti saya yang suka asal jeplak.. maka dipilihlah istilah “Jadi teman” tadi untuk memperhalus, padahal maksudnya sih sama-sama aja. Tidak bersama lagi titik.
Well, itu cerita tentang yang pacaran… yang berumah tangga? Samuel Mulia menggambarkan pasangan-pasangan suami istri jaman dulu, yang memilih menyimpan perasaannya saja, ketika pernikahan tak sesuai dengan pengharapan, ketika perasaan cinta mulai lambat laun berkurang. Para orang tua kita jaman dahulu cenderung menyimpan rapat-rapat, berdiam dalam perasaannya, dan melanjutkan kehidupan. Katanya, karena pandangan dahulu, menikah itu, sekali se-umur hidup.  I guess, that is why, Samuel Mulia mengilustrasikannya bagai unta di padang gurun, walaupun rumah tangga sepanas matahari di gurun sahara, mereka tetap bertahan.

Mengapa enggan mengatakan sesuatu dengan tegas? Itu yang menjadi pemikiran saya. Selalu begitu. Mengapa kita merasa jengah mendengarkan kebenaran.  Tidak usah orang lain, saya sendiri yang mulutnya tidak bisa di rem, yang terbiasa dengan perkataan ngasal ngomong, kadang ditengah kondisi tertentu merasa jengah dengan penyampaian yang blak-blakan. Mungkin ini karena perasaan lebih banyak bermain daripada logika. Semestinya logika berada di depan, bukannya mengutamakan perasaan. Betul?

Kemudian saya jadi mau-tak-mau tersentuh dengan keadaan para pasangan orangtua jaman dulu. Apakah menikah itu begitu? Lama-lama, perasaan cinta itu akan menipis… seperti kabut.. fade away? Apakah bisa tidak seperti itu? Bukankah cinta itu semestinya terus bertumbuh. Apakah cinta bisa dibangun ? Dibangun pake apa? Nah, secara cinta itu seperti rumah.. tapi bahan pembangunnya ga mungkin sama, kan?

Bagaimana seandainya pernikahan berada dalam keadaan yang membosankan dan cinta yang menghilang? Apa yang harus dilakukan? Apakah cinta bisa di rekonstruksi? Atau kembali seperti tadi.. terima saja.. yang penting kebutuhan terpenuhi, artinya.. masih di nafkahi? Dibelikan baju, sepatu.. persis seperti gambaran Samuel Mulia di kolom tersebut. Hmmm.. bagaimana ya? Rumah tangga seperti itu, pasti tidak mudah, sepertinya banyak taufan badai. Jika pondasinya tidak kuat, pasti bisa ambruk dengan mudah. Hah.. hah... jadi tambah bingung.

Ini yang saya temukan  di paragraf pertama :

Relationship is not about how much love you have in the beginning, but how much love you build till the end


Intinya emang lo harus banyak membangun ya?

No comments:

Post a Comment